Ayah Bunda, alhamdulillahirrobil’alamin, webinar pendidikan bersama dr. Amir Zuhdi bertajuk Neuroteaching, Pembelajaran Ramah Otak Anak, pada Ahad, 28 Mei 2023 telah berlangsung dengan lancar. Ada banyak sekali insight yang didapat dari event tersebut.
Apakah Ayah Bunda juga mengikuti webinar tersebut? Jika pada hari itu Ayah Bunda berhalangan untuk menghadirinya, silakan bisa menyimak di sini:
Contents
- 1 Pentingnya Berkesadaran dalam Mengajar
- 2 Belajar Neuroteaching, Belajar yang Tersistem
- 3 Hubungan Pembelajaran Ramah Otak Anak dengan Pengasuhan Orang Tua
- 4 Mengenal Dasar-dasar Otak Anak
- 5 Pembelajaran Ramah Otak Anak untuk SD atau PAUD Ya?
- 6 Otak dan Gender, Bedanya Pengasuhan antara Laki-laki dan Perempuan
Pentingnya Berkesadaran dalam Mengajar
Webinar Neuroteaching, Pembelajaran Ramah Otak Anak dibuka dengan sambutan penuh semangat oleh Kepala SD Islam Bintang Juara, Ibu Nur Shofwatin Ni’mah, S.Pd. Tidak berpanjang kalam, usai mendokumentasikan momen narasumber bersama seluruh peserta, acara inti segera dimulai.
Miss Meli, Kepala PAUD Islam Bintang Juara, yang didapuk sebagai moderator acara inti, membacakan profil dr. Amir Zuhdi. Setelahnya, dr. Amir Zuhdi mulai memaparkan beberapa hal dasar yang wajib diketahui oleh guru dan orang tua terkait pembelajaran ramah otak anak.
Sebuah kalimat pembuka dr. Amir Zuhdi cukup menggelitik;
“Mengajar itu harus berkesadaran atau hipnotik?”
Ternyata kalimat tersebut adalah sebuah pertanyaan yang pernah disampaikan kepada seseorang kepada dr. Amir Zuhdi. Sebagai dokter dengan peminatan pada neurosains, menjawab pertanyaan tersebut tentu saja beliau menggunakan pijakan ilmu neurosains.
Sebagai informasi, yang disebut dengan neurosains yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang neuron (sel syaraf). Ilmu yang mempelajari bagaimana otak manusia bekerja. Kalau berdasarkan pijakan tersebut, disebutkan oleh dr. Amir Zuhdi, mengajar itu harus sadar, tidak boleh terhipnotis.
Aktivitas otak memang ada yang menyerupai keadaan terhipnotis, tapi sebenarnya kondisi otak saat itu sadar. Sebagaimana saat kita sedang menyimak webinar, kita mendengar apa yang disampaikan pembicara dan melakukan apa yang diminta pembicara. Kondisi tersebut bukan berarti kita sedang terhipnotis oleh pembicara, tetapi memang otak kita sedang fokus pada webinar tersebut.
Oleh karenanya dr. Amir Zuhdi menegaskan bahwasanya mengajar jika berbasis neurosains haruslah berkesadaran.
Setelah menyampaikan pembukaan yang apik, dr. Amir Zuhdi menceritakan sekelumit ‘sejarah hidupnya’. Ternyata dr. Amir Zuhdi dilahirkan dan dibesarkan di keluarga guru. Kakeknya guru, ibu bapaknya guru. “Hanya saya yang ‘tersesat’ di kedokteran,” ucap dr. Amir Zuhdi dengan senyum yang lebar.
Namun siapa sangka, kini takdir juga membawa dr. Amir Zuhdi ke dunia pendidikan. Lebih tepatnya menjadi gurunya para guru dan orang tua melalui program Neuroteaching dan Neuro Parenting School.
Dokter Amir juga menyampaikan pesan yang sangat menguatkan para guru agar tidak berkecil hati dengan profesi yang dijalaninya saat ini. Kata dr. Amir Zuhdi;
“Menyejahterakan keluarga dimulai dengan pendidikan.”
Oleh karenanya orientasi mengajar haruslah untuk membangun kecerdasan di bawah lindungan Allah SWT. Kecerdasan tersebut meliputi karakter, moral, literasi, numerasi dan lain-lain. Namun tidak lupa untuk menjadikan kakak shalih-shalihah sadar akan perannya sebagai Hamba Allah SWT.
Ditambahkan oleh dr. Amir Zuhdi, agar tujuan mengajar tercapai maka dibutuhkan guru yang ikhlas. Indikator guru ikhlas menurut wejangan dari sang ibu adalah guru yang senantiasa belajar.
Kemudian Dokter Amir menceritakan guru yang mendampingi beliau hingga berhasil saat ini. Suatu waktu, dr. Amir Zuhdi bertemu kembali dengan gurunya sewaktu SD. Si guru ini bercerita kalau dulu sempat bingung waktu mengajar dr. Amir.
Karena saat itu, kalau dr. Amir tidak sambil bermain, tidak ada pelajaran yang bisa dipahami. Sang guru kemudian berdoa agar Allah SWT bisa memberikan cara mengajar yang tepat untuk dr. Amir.
Mengetahui bahwa Dokter Amir memiliki kecerdasan kinestetik, maka sang guru sengaja untuk selalu memberikan tugas kepadanya. Setiap kali melihat dr. Amir selesai mengerjakan satu tugas, sang guru akan memberikan tugas lain.
Cara tersebut ternyata terbukti membuat dr. Amir bisa duduk tenang di mejanya dan tidak mengganggu teman sekelas. Setelah dr. Amir menjadi dokter yang mempelajari neurosains, ternyata cara yang digunakan oleh gurunya tersebut sesuai dengan otak belajar.
Belajar Neuroteaching, Belajar yang Tersistem
Dokter Amir menganggap gurunya adalah salah satu contoh guru yang ikhlas. Beliau senantiasa mencari solusi untuk setiap tantangan yang dihadapi. Tak hanya itu beliau juga membawa nama murid-muridnya di dalam doa.
Semoga Ayah Bunda dan para bapak ibu guru bisa menduplikasi apa yang telah dilakukan oleh gurunya dr. Amir Zuhdi dalam kehidupan sehari-hari ya.
Selanjutnya, dr. Amir Zuhdi menyampaikan bahwa mempelajari otak bagi guru dan orang tua bukanlah untuk menjadi dokter. Namun untuk bisa memahami bagaimana kinerja otak yang sebenarnya.
Oleh karenanya dalam Neuro Parenting School, mempelajari keseluruhan ilmu neuroteaching membutuhkan waktu 32 jam. Sedangkan untuk neuroparenting dibutuhkan waktu kurang lebih 50 jam. Selain neuroteaching dan neuroparenting, dr. Amir Zuhdi juga memiliki program yang dinamai Neuro Leadership.
Hal-hal yang disampaikan oleh dr. Amir Zuhdi melalui webinar ini barulah pondasinya saja. Diharapkan dengan mengetahui dasar-dasarnya, para guru dan orang tua memiliki alasan yang semakin kuat untuk mempelajari neuroteaching dan neuroparenting.
Mengajar dan mengasuh anak tidak boleh asal-asalan. Otak kalau dirangsang asal-asalan, nantinya sel-sel syaraf yang baru tidak akan terbentuk dengan baik/ tidak sistematis.
Ketika guru dan orang tua telah mengetahui bagaimana otak bekerja, diharapkan mereka bisa merancang sistem pembelajaran yang komprehensif dan bisa diaplikasikan. Catatan penting yang perlu diperhatikan baik oleh guru maupun orang tua;
Pembelajaran itu selalu membutuhkan otak.
Dokter Amir kemudian membagikan lima hal yang perlu ada dalam sebuah sistem pembelajaran yang ramah otak:
1. Pengalaman Emosi
Pengalaman emosi memiliki dampak pada otak anak dan berperan penting dalam proses belajar mengajar. Semakin kaya pengalaman emosi yang dialami oleh anak, semakin pesat perkembangan otaknya.
2. Memberi Tantangan Hal-hal Baru
Membangun hubungan antar subjek, merespon dan beradaptasi, dapat memberi pengalaman belajar yang penuh makna bagi kakak shalih-shalihah.
3. Memberi Latihan Pengulangan
Semakin sering hal-hal baik diulang, maka semakin menambah kuat proses pengingatan. Tak hanya itu, hal-hal baik tersebut kemudian perlahan menjadi kebiasaan dan tumbuh menjadi karakter.
4. Gizi yang Cukup
Proses belajar selain memerlukan gerak, lingkungan variatif, emosi yang konstruktif, dan rangsangan, nutrisi/ gizi juga memegang peranan penting. Di dalam otak ada 900 neuron tidak aktif yang disebut dengan neuroglia.
Neuroglia bertugas menyiapkan makanan untuk aktivitas neuron. Neuron itu penting untuk otak bertumbuh. Nutrisi otak disimpan secara khusus di neuroglia. Selain berfungsi untuk mengelem nutrisi, neuroglia disebut sebagai posko makanan.
Saat seorang anak kurang gizi, nutrisi akan diambilkan dari cadangan lainnya. Kalau cadangannya habis, maka ambil dari neuron. Bahayanya, ketika semua nutrisi yang tersimpan di neuron habis, anak tersebut bisa mengalami perkembangan otak yang stagnan. Tidak bisa berpikir dengan baik, dan tentu saja berdampak pada kehidupan sehari-harinya.
Oleh karenanya, Ayah Bunda perlu memperhatikan nutrisi yang baik untuk otak kakak shalih-shalihah, antara lain; jus, madu, susu kambing, Ikan laut, ikan air tawar, tempe mentah dengan kurma, dan sebagainya.
5. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang dilakukan siswa menjelang belajar akan mengoptimalkan kinerja otak. Alhasil proses belajar mengajar akan berjalan dengan maksimal.
Neuroteaching melibatkan tiga komponen utama; otak guru, otak anak dan ramah otak. Semua guru harus sudah yakin dan percaya tentang hal tersebut.
Anak yang tangan kakinya tidak lengkap, asal otaknya distimulasi dengan baik, masih bisa cerdas. Namun anak yang tangan kaki lengkap, otak nggak terstimulasi, maka bisa saja otaknya tidak berkembang.
Guru dan orang tua juga perlu tahu bahwa usia PAUD – kelas 2 SD aktivitas belajar harus lebih banyak bermain. Saat anak duduk di kelas 3 SD, kegiatan-kegiatan yang diberikan boleh mulai masuk kognitif.
Cara belajarnya dengan dibuktikan, dilihatkan objeknya. Namun dengan catatan, cara belajar ini akan lebih optimal ketika kecerdasan emosinya sudah oke.
Guru PAUD juga harus bersinergi dengan orang tua di rumah. Jangan sampai di sekolah sudah melakukan pembelajaran ramah otak yang berbasis gerak, eh di rumah, kakak shalih-shalihah justru dirusak oleh orang tuanya sendiri dengan lebih banyak diberi gadget.
Fenomena ini dinamai Gadget Hijacking oleh dr. Amir Zuhdi. Dampak dari fenomena ini adalah semakin banyak anak yang kecanduan gagdet dan bahkan memerlukan terapi psikiatri untuk menanganinya.
Disampaikan pula oleh Dokter Amir, orang tua yang memberi gadget kepada anak, sejatinya mereka adalah orang tua yang memiliki emosi tumpul. Karena malas berhadapan dengan balada tantrum anak, mereka memilih untuk memberikan gadget sebagai jalan pintas.
Namun kami yakin, Ayah Bunda dan bapak ibu guru yang membaca artikel ini tidak termasuk golongan orang tua tersebut bukan?
Saat ini semakin marak pembuat game karena game telah berkembang menjadi bisnis. Maka semakin banyak game dibuat, semakin banyak uang yang masuk di kantong para pembuat game. Namun sebagai orang tua dan guru, kita perlu mengetahui fakta bahwa game dapat merusak otak anak.
Hubungan Pembelajaran Ramah Otak Anak dengan Pengasuhan Orang Tua
Dokter Amir kemudian menceritakan sebuah kisah tentang seorang mahasiswa cerdas yang hippocampus-nya mengecil. Dari sejak usia dini hingga SMA, mahasiswa ini terkenal sebagai sosok yang nilai akademisnya selalu memuaskan.
Namun sayang orang tuanya tidak pernah merasa puas dengan prestasi sang anak. Alhasil pada saat kuliah, menyelesaikan soal yang harusnya bisa 10 menit, diselesaikan dalam 1 jam. Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata ukuran hippocampus si mahasiswa mengecil.
Sebagai informasi, hippocampus berkaitan dengan memori (khususnya memori belajar). Bagian kanan berhubungan dengan kecerdasan spasial, sementara bagian kiri berhubungan dengan kecerdasan analitik dan kritikal. Dengan mengecillnya hippocampus, si mahasiswa menjadi sulit berpikir secara analitik
Banyak sekali kasus-kasus setipe. Apabila dirunut, sebagian besar merupakan dampak dari buruknya pengasuhan pada 0-7 tahun. Karena diasuh secara temperamental, akhirnya anaknya juga akan tumbuh menjadi sosok yang terperamental. Pada saat anak-anak, efek ini bisa jadi belum terlihat. Namun saat anak sudah dewasa, efeknya akan terlihat dengan nyata.
Kegagalan pengasuhan sebagian besar disebabkan karena kurang piawainya orang tua dalam mengelola emosi.
Dari cerita tentang mahasiswa di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa memang sangat penting bagi orang tua dan guru untuk mengetahui cara otak bekerja.
Guru dan orang tua belajar otak bukan untuk menjadi dokter, tetapi untuk mengajar, mendidik dan mengasuh anak secara tepat. Belajar dan mengajar tanpa melibatkan ilmu tentang otak adalah hal mustahil. Apalagi ketika guru dan orang tua ingin materi ajarnya diterima oleh anak.
Nah, buat Ayah Bunda dan bapak ibu guru yang ingin belajar tentang otak anak, otak orang tua dan otak belajar, silakan bisa mengikuti kelas Neuroparenting dan Neuroteaching yang digelar oleh Neuro Parenting School (NPS):
Mengenal Dasar-dasar Otak Anak
Dokter Amir Zuhdi menyampaikan bahwasanya otak memiliki dua belahan; kanan dan kiri. Neuroscience telah berkembang, tidak lagi saklek bahwasanya kanan untuk spasial, kiri untuk analitikal.
Tidak ada lagi istilah, mengajar matematika menggunakan otak kanan. Sambil berkelakar, dr. Amir Zuhdi bertanya, “Coba deh dipotong otak kirinya, apa bisa otaknya berjalan?”
Dua belahan ini memiliki fungsinya masing-masing, tapi berperan dengan saling melengkapi, tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Dua-duanya saling digunakan dalam waktu bersamaan. Belahan kanan akan bekerja bagus bila dibackup belahan kiri dan sebaliknya.
Otak saat satu belahannya diambil akan terlihat dua bagian; otak dalam dan luar. Otak dalam berhubungan dengan emosi dan gerak. Sementara otak luar berhubungan dengan kemampuan berpikir dan bahasa.
Otak diproses dari dalam dulu baru luar. Otak dalam dulu, baru otak luar. Guru dan orang tua perlu mengetahui ini agar proses mengajar dan mengasuh bisa optimal dalam membangun kecerdasan.
Dalam Neurosains, ada lima kecerdasan, yang nantinya akan melahirkan kecerdasan-kecerdasan lainnya:
- Gerak,
- Emosi,
- Rasio/ inteligen,
- Sosial,
- Spiritual.
Lima kecerdasan tersebut berasal dari tiga kecerdasan; gerak, emosi, dan rasio. Perlu Ayah Bunda dan bapak ibu guru ketahui bahwa ada dua kecerdasan yang posisinya sebagai fondasi, yaitu: gerak dan emosi.
Sebagaimana bangunan yang tinggi, semegah apapun kalau pondasinya rapuh akan berbahaya bukan? Begitu juga dengan kecerdasan anak.
Agar anak usia PAUD cerdas, fokuslah pada gerak dan emosi. Emosi akan terus berkembang di tahun-tahun berikutnya. Namun gerak benar-benar harus dikawal dalam 7 tahun, atau maksimal 9 tahun pertama.
Cara utama mengajari anak agar tumbuh cerdas; ajarilah anak bergerak. Oleh karenanya pengasuhan orang tua jangan sampai minim gerak. Biarkan anak banyak bergerak.
Cari permainan yang cara bermainnya bergerak. Semakin banyak gerakan tubuh, semakin baik. Mulai usia SD, barulah mulai ditata kognisinya. Saat usia SMP, mulai ditata emosinya.
Tak sedikit yang kemudian bertanya kepada dr. Amir Zuhdi, “Kebutuhan anak kan cerdas, bukankah calistung termasuk di dalamnya?”
Tentu saja belajar berhitung dan menulis bagi anak usia PAUD diperbolehkan. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa cara mengajari/ cara belajarnya yang harus lewat gerak.
Mungkin Ayah Bunda dan bapak ibu guru yang baru pertama kali menerima materi tentang neurosains akan sedikit merasa bingung dan tak yakin. Oleh karenanya, dokter Amir kemudian memberikan pijakan bahwa antara otak besar dan otak cerebelum {otak kecil) terhubungkan dengan ‘kabel’ atau syaraf-syaraf. Otak besar adalah pusat berpikir.
Nah, untuk membuat anak-anak berpikir dengan bagus, maka anak-anak harus banyak BERGERAK. Artinya diberikan stimulasi sensorik motorik yang sesuai kebutuhan.
Adapun kriteria berpikir bagus yang dimaksud oleh dr. Amir Zuhdi yaitu;
- Fleksibel, bisa melihat sesuatu dari sudut yang berbeda dan tidak kaku/ mudah beradaptasi.
- Pikirannya selaras dan tenang. Tidak mudah ngamukan alias tantrum.
Contoh anak-anak yang tidak fleksibel:
- Pernah menemukan anak yang saat meminta A ya harus A, diganti B keukeuh tidak mau apapun alasannya.
- Sering tantrum karena pikirannya tidak selaras.
- Tidak bisa menunda, saat minta sesuatu harus sak dhet sak nyet kalau kata orang Jawa. Alias harus ada saat itu juga.
Cara memperbaiki anak-anak dengan kondisi seperti itu, yaitu dengan membenahi gerakannya. Bicara tentang kecerdasan gerak, maka tak bisa lepas dari sistem sensorik. Ada 8 piranti sistem sensorik yang perlu diketahui orang tua dan guru, termasuk tentang reflek-reflek primitif. Sistem sensorik harus terintegrasi.
Contoh beberapa latihan untuk melatih gerak yaitu meniti jalan titian. Aktivitas tersebut bukan sekadar untuk melatih keseimbangan, tetapi juga untuk mengoptimalkan kecerdasan.
Memberikan pendidikan dan pengasuhan harus sesuai dengan pertumbuhan otak. Otak tidak langsung sempurna, paling cepat berkembang dalam jangka waktu 18 tahun. Perkembangan otak paling lama 25 tahun, sedangkan angka rata-rata adalah 21 tahun. Setiap fasenya, ada milestone yang harus dipahami oleh Ayah Bunda dan Bapak Ibu Guru.
Pembelajaran Ramah Otak Anak untuk SD atau PAUD Ya?
Hal tersebut paling banyak ditanyakan melalui formulir pendaftaran. Dokter Amir lalu memberikan jawaban yang bijak;
Guru SD harus tahu otak PAUD bekerja. Guru PAUD juga harus tahu bagaimana otak SD bekerja. Sehingga pada saat mengajar bisa saling berkesinambungan, sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam program Transisi PAUD-SD.
Oleh karenanya, pengajaran antara guru PAUD – SD harus saling terkait, khususnya antara guru PAUD dan guru-guru kelas 1-3. Pada saat anak usia 7-8 tahun terjadi pergeseran, dari yang full gerak, bergeser ke aktivitas berpikir.
Walau berpikirnya masih yang sederhana. Namun pada usia tersebut, sebuah pertanda muncul, yaitu adanya angulus yang berkembang. Artinya, anak sudah bisa berpikir dengan lebih kompleks.
Masuk SMP, anak-anak bisa belajar emosi yang lebih rumit. Masuk usia remaja, tentut perkembangan otaknya berbeda lagi. Ada cara mengajar dan mengasuh yang berbeda pada setiap kelompok umur. Mengajar anak di bawah 7 tahun dengan anak di atas 12 tahun pasti beda caranya.
Dokter Amir memberikan pesan agar tidak pernah mengganti guru kelas 1 SD dengan guru kelas 6 SD, karena biasanya proses belajar mengajar akan berjalan berantakan. Kecuali guru kelas 6 SD yang kemudian diamanahi mengajar kelas 1 SD punya kemampuan adaptasi yang baik. Justru kalau guru kelas 1-3 SD diganti guru PAUD masih bisa berjalan baik.
Otak dan Gender, Bedanya Pengasuhan antara Laki-laki dan Perempuan
Selain pertanyaan tentang pembelajaran ramah otak anak lebih cocok untuk SD atau PAUD, pertanyaan terkait bedanya pengasuhan antara anak laki-laki dan perempuan juga banyak diajukan melalui formulir pendaftaran. Menanggapi hal ini, dr. Amir Zuhdi memberikan jawaban;
“Tidak perlu tersegmenkan secara khusus, tapi yang pasti laki dan perempuan berbeda. Jenis kelaminya saja berbeda. Secara dasar, otak awalnya perempuan, lalu ada hormon-hormon seksual yang berkembang sehingga ada laki- dan perempuan.”
Apabila dilihat dari perkembangan secara fisik, otak laki dan perempuan memang berbeda. Otak dalam perempuan lebih tebal struktur pembuluh darahnya daripada otak dalam laki-laki.
Otak dalam berhubungan dengan emosi dan gerak, nutrisi dan oksigen banyak ditemukan di sini. Alhasil aktivitas perempuan biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kalau dianalagikan, laki-laki itu layaknya kompor minyak tanah, sementara perempuan seperti kompor gas.
“Jadi kalau perempuan suka ngegas, ya memang begitu, sudah fitrahnya,” ujar dr. Amir Zuhdi.
Terkait mengapa perempuan lebih suka mengomel dibandingkan lelaki, hal itu dikarenakan otak bahasa perempuan jauh lebih luas daripada laki-laki. Maka, perempuan cerewet itu normal.
Kalau perempuan nggak banyak ngomong, artinya ia belum ketemu teman yang cocok. Kalau sudah bertemu teman, kok perempuan masih pendiam, bisa jadi perempuan itu mengalami stres.
Perempuan disebut sebagai madrasatul ula karena memiliki sub cortical/ otak dalam yang lebih tebal. Kondisi ini membuat perempuan, normalnya, memiliki 1000 bahasa yang menyejukkan.
Sementara apabila dilihat dari fitrah perkembangan, anak laki-laki usia 7-9 tahun seharusnya didekatkan dengan ayah atau figur yang menggantikan sosok ayah. Begitu juga anak perempuan di usia 7-9 tahun, sebaiknya dekat dengan ibu.
Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan hormon seksual yang sedang tinggi-tingginya. Apabila anak dekat dengan orang tua yang memiliki gender sejenis, anak-anak jadi lebih mudah untuk bercerita dan mengekspresikan curahan hatinya.
Setelah masuk usia 12 tahun, anak-anak perlu mendapat nilai-nilai lainnya. Anak harus dekat dengan orang tua yang beda gender. Perempuan membutuhkan tampilan tentang laki-laki yang baik seperti apa, oleh karenanya dekatkan dengan ayah/ yang berperan sebagai figur ayah. Begitu juga sebaliknya.
Masya Allah webinar pendidikan Neuroteaching, Pembelajaran Ramah Otak Anak memang banyak sekali hikmah yang bisa diambil, Ayah Bunda. Apabila Ayah Bunda ingin mengetahui materi dari Bunda Vivi Psikolog yang dibagikan pada acara inti bagian kedua, silakan mengunjungi artikel “Kegiatan Bermain dan Belajar yang Bermakna sesuai Kebutuhan Perkembangan Anak.”
Dokter Amir Zuhdi menutup paparannya pagi itu dengan kalimat-kalimat bermakna;
Belajar mengajar adalah satu aktivitas yang mulia. Ketika mengajar bukan sekadar untuk mencari nafkah, tapi juga untuk mengasah otak kita. Bukan sekadar untuk menjadi guru berotak normal, tapi guru berotak sehat.
Belajar mengajar membutuhkan kapasitas otak, maka sudah sewajarnya guru belajar tentang otak. Bukan untuk sebagai dokter, tetapi untuk menjadi guru yang bijak dan menyenangkan. Pada akhirnya Anda akan mendapat murid yang cemerlang, ceria dan cerdas.
Apabila catatan Bintang Juara tentang Neuroteaching, Pembelajaran Ramah Otak Anak ini bermanfaat, mohon kesediaan Ayah Bunda untuk membagikan informasi ini kepada masyarakat luas. Terima kasih dan sampai jumpa pada catatan-catatan berikutnya.***